Mengenal Adat Istiadat Palembang (Baso Palembang Alus/Bebaso).
17 March 2012
Sebagai salah satu kekayaan budaya Palembang dan sebagai jati diri
Wong Kito
(Melayu-Palembang), Baso Pelembang Alus (Bebaso) saat ini sudah hampir
punah. Untuk itu perlu adanya usaha pelestarian dan mendokumentasikannya
sebagai wujud kepedulian kita, diantaranya dengan mengadakan kursus
atau menerbitkan buku kamur. Pepatah mengengatakan : “Tak kenal maka tak
sayang, tak sayang maka tak cinta.”
Untuk menumbuhkan rasa sayang
dan cinta kepada Kota Palembang, terlebih dahulu kita harus mengenal
sejarah dan budaya Palembang, termasuk dalam hal bahasa. Asal-usul Baso
Pelembang Alus hampir menyerupai bahasa Jawa, oleh sebab itu banyak
orang berasumsi bahwa bahasa Palembang berasal dari Jawa. Namun pada
dasarnya tidaklah demikian, bahkan sebaliknya, identitas Palembang
sebagai korabolasi dari kebudayaan Melayu-Jawa terlepas dari sejarah
Palembang itu sendiri. Menurut sumber sejarah lokal, Kesultanan
Palembang muncul melalui proses yang panjang dan berkaitan erat dengan
kerajaan-kerajaan besar dipulau Jawa. Seperti Kerajaan Majapahit, Demak,
Pajang, dan Mataram. Palembang (Melayu-Sriwijaya) pada masa lalu adalah
cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan dipulau Jawa.
Dalam manuskrip sejarah Palembang
diceritakan : Alkisah tersebutlah dalam satu masa di Bukit Siguntang
duduk memerintah seorang raja bernama Raja Sulan yang mempunyai dua
orang putra, masing-masing bernama Alim dan Mufti. Alim menjadi sultan
setelah ayahandanya wafat, sedangkan Mufti menjadi sultan di Gunung
Meru. Setelah Sultan Alim wafat ia digantikan oleh putranya tanpa
melalui musyawarah dengan pamannya Sultan Mufti. Karena itu Sultan Mufti
bermaksud untuk menurunkan putra Sultan Alim dari kedudukannya sebagai
sultan di Bukit Siguntang.
Mendengar cerita tersebut maka putra Sultan Alim beserta rakyat dan
pasukannya meninggalkan Bukit Siguntang menuju Indragiri. Mereka menetap
di suatu daerah yang mereka pagari dengan uyung sebagai tempat
pertahanan. Kemudian tempat tersebut bernama pagaruyung (Padang,
Sumatera Barat). Setelah Sultan Mufti wafat, ia digantikan oleh putranya
dengan pusat pemerintahan di Lebar Daun bergelar Demang Lebar Daun
hingga tujuh turun lebih.
Demang Lebar Daun ini mempunyai seorang saudara kandung bergelar Raja
Bungsu. Kemudian Raja Bungsu tersebut hijrah ke tanah Jawa, dinegeri
Majapahit, bergelar Prabu Anom Wijaya atau Prabu Wijaya/Brawijaya sampai
tujuh turun pula. Brawijaya yang terakhir memiliki putra bernama Aria
Damar atau Aria Dilah dikirim ke tanah asal nenek moyangnya yaitu
Palembang, ia dinikahkan dengan anak Demang Lebar Daun dan diangkat
menjadi raja (1445 – 1486).
Ia juga mendapat kiriman seorang putri China yang sedang hamil, yakni
istri ayahnya yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya.
Sang putri ini melahirkan putrj yang diberi nama Raden Fatah atau
bergelar Panembahan Palembang, yang kemudian menjadi raja pertama di
Demak. Pada saat Raden Fatah menjadi Raja Demak (1478 – 1518), ia
berhasil membesarkan kekuasaannya dan menjadikan Demak Kerajaan Islam
pertama di Jawa.
Akan tetapi kerajaan Demak tidak mampu bertahan lama karena
terjadinya perang saudara, setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran,
muncullah Kesultanan Pajang. Penyerangan Pajang ke Demak mengakibatkan
sejumlah bangsawan Demak melarikan ke Palembang. Rombongan dari Demak
yang berjumlah 80 orang di kepalai oleh Sido Ing Lautan (1547-1552)
menetap di Palembang Lamo (1 Ilir) yang saat itu Palembang dibawah
pimpinan Dipati Karang Widura, keturunan Demang Lebar Daun.
Mereka mendirikan istana Kuto Gawang dan Masjid di Candi Laras (Pusri
sekarang). Pengganti Pangeran Sido Ing Lautan adalah anaknya, Ki Gede
Ing Suro (1552-1573), setelah wafat digantikan oleh Kemas Anom Adipati
Ki Gede Ing Suro Mudo (1573-1630). Kemudian diganti saudaranya Sultan
Jamaluddin Mangkurat II Madi Alit (1629-1630). Kemudian Sultan
Jamaluddin III Sido Ing Puro (1630-1639). Sultan Jamaluddin Mangkurat IV
Sido Ing Kenayan (1639-1650). Sultan Jamaluddin Mangkurat V Sido Ing
Peserean (1651-1652). Sultan Jamaluddin Mangkurat VI Sido Ing Rejek
(1652-1659). Sultan Jamaluddin VII Susuhan abdurrahman Candi Walang
(1659-1706). Sultan Muhammad Mansyur (1706-1714). Sultan Agung
Komaruddin (1714-1724). Sultan Mahmud Badaruddin (1724-1757), dst.
Pada abad ke-16 di Palembang mulai terbentuk dan tumbuh suatu
pemerintahan yang bercorak Islam. Pangeran Aria kesumo (Kemas Hindi)
pada tahun 1666 memproklamirkan Palembang menjadi negeri Kesultanan
beliau bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam
berkuasa (1659-1706). Dengan demikian Islam telah menjadi agama
Kesultanan Palembang Darussalam dan pelaksanaan hukum Islam berdasarkan
ketentuan resmi hingga berakhirnya Kesultanan Palembang Darussalam pada
tahun 1823.
Dengan demikian jelaslah bahwa bahwa sejarah Melayu Palembang dalam
perkembangannya dipengaruhi budaya Jawa , yang paling tidak masih dapat
kita sekarang ini antara lain : Rumah Limas, pakaian adat, dan bahasa.
Bebaso Bahasa Palembang berasal dari bahasa Melayu Tua yang berbaur
dengan bahasa Jawadan diucapkan menurut logat/dialek Wong Pelembang.
Seterusnya bahasa yang sudah menjadi milik Wong Palembang ini diperkaya
pula dengan bahasa-bahasa Arab, Urdhu, Persia, China, Portugis, Inggris,
dan Belanda. Sedangkan aksara bahasa Melayu Palembang menggunakan
aksara Arab (Arab-Melayu) atau tulisan Arab berbahasa Melayu (arab
gundul/pagon).
Bahasa Palembang terdiri dari dua macam, pertama, merupakan bahasa
sehari-hari yang digunakan hampir setiap orang di kota ini atau disebaut
juga bahasa pasaran. Kedua, bahasa halus yang digunakan oleh kalangan
terbatas (bahasa resmi Kesultanan). Biasanya dituturkan oleh dan untuk
orang-orang yang dihormati atau yang usianya lebih tua. Seperti dipakai
oleh anak kepada orang tua, menantu kepada mertua, murid kepada guru,
atau antar penutur yang seumur dengan maksud untuk saling menghormati,
karena Bebaso artinya berbahasa sopan dan halus.
Bahasa daerah Palembang boleh dikatakan bahasa yang mudah, dibanding
dengan bahasa-bahasa daerah lainnya. Untuk bahasa sehari-hari (pasaran),
hanya gayanya saja yang agak berbeda dengan bahasa Indonesia, dan
beberapa kata atau istilah saja berlainan, kebanyakan huruf
A diujung diganti dengan huruf
O. Seperti
“apa” menjadi “
apo”,
“nama” menjadi
“namo”
danseterusnya, karena itu orang-orang datangan di Kota Palembangini
mudah sekali mempelajari dan memakai bahasa sehari-hari sebagai bahasa
penghubung/komunikasi bagi seluruh daerah di Sumbagsel.
Namun walaupun demikian bahasa daerah sehari-hari itu ada gaya yang
khas yang terkadang kentara sekali bagi orang baru memakainya terdapat
kejanggalan. Sedangkan Bebaso adalah agak lebih sulit dan berbea sekali
istilahnya dengan bahasa sehari-hari (Kromop Inggil). Sekarang ini sudah
tidak banyak lagi Wong Pelembang bebaso, karena itu sudah jarang
terdengar. Anak-anak muda boleh dikatakan banyak yang tidak dapat,
begitu juga orang-orang dewasa.
Sehingga seolah-olah sekarang ini bebaso itu hampir hilang. Oleh
sebab itu bebaso ini harus dibiasakan dalam pergaulan sehari-hari kepada
siapapun sebab didalamnya terdapat norma, adab, dan sopan santun,
sehingga bila dibiasakan akan mendatangkan kebaikan dan besar
kemungkinana terhindar dari salah paham, tersinggung, cekcok, dan
sebagainya. Bebaso juga enak didengar dan dipandang mata, karena
penyampaiannya secara sopan dan halus, nada suaranya tidak tinggi,
lembut, serta dengan sikap merendah. Contoh kedua bahasa Palembang
Pasaran
(P) dan Bebaso
(B) :
P : Mang Cek, aku ni nak betanyo, dimanolah rumah Cek Awang?
B : Mang Cek, kulo niki ayun betaken, pundila rompol Cek Awanh?
(Paman, saya mau bertanya, dimanakah rumah Pak Awang?)
P : O, idak jao, parak rumah aku, itulah rumah Cek Awang.
B : O, nano tebe, pangge rompok kulo,nikula rompok Cek Awang.
(O, tadak jauh, dekat rumah saya, disitulah rumah Pak Awang)